menyesal, Andai, Lucu, Hahahaa..

Kalau boleh menyesal, aku ingin menyesal, benar-benar menyesal. Kalau boleh berandai-andai, aku akan terus saja berkata, “Andai saja begini, begitu, ….”. Sayangnya penyesalan dan pengandaian sudah aku buang jauh-jauh dari kamus hidupku. Aku hanya akan menyesal jika aku melakukan sesuatu setelah penyesalan itu, aku hanya akan berandai jika apa yang kuandaikan telah menjadi kenyataan sebelum aku berkata “andai”. (itu sih bukan berandai-andai namanya, apa yang diandaikan???) :D

Kadang saat situasi seperti asap yang mengepul, memenuhi ruang ikhlasku, aku susah bernafas ikhlas. Penyesalan itu datang lagi, pengandaian itu terbersit lagi, walaupun aku pantang mengucapnya. Mungkin aku hanya akan berkata sakit. Sakit. Tapi hatiku meyakini jalan ini. So? Apa aku harus jatuh dalam sakit ini?? Air mataku bahkan sudah bosan keluar memikirkan ini dan ini lagi. Bosan, aku bosan meratap atau menangis, karena sekarang aku lebih suka tertawa. Alangkah lucunya semua ini.
Sakit ini tak pernah hilang karena setiap aku menutup luka, luka di tempat lain yang sedang tertutup mengelupas lagi. Arrrghhh.. Menutup luka dengan luka. Hffh, tidak, aku tidak sedang lebay. Terserah dengan luka atau apa yang membuat sakit, memang kenyataannya aku tidak bisa menepis sakit itu.
Terus kalau tidak bisa ditepis harus dirasakan terus? Ah, nggak juga. Lebih baik aku mencari kebahagiaan lain kan? Masih banyak kebahagiaan lain yang bisa kutemukan di sini daripada sakit-sakit menyebalkan itu. :D
Alangkah lucunyaaaaaa semua ini. Entah kenapa, aku malah ingin semakin di sini, kelucuan apalagi ya yang akan aku dapatkan di sini? Hahaha..
Memang benar sebuah pepatah, “Rumput tetangga selalu lebih indah.” Terus kenapa? Kalau rumput tetangga lebih indah apakah berarti kita terus menerus menginginkan rumput-rumput tetangga? Bukankah lebih baik kita menghijaukan rumput sendiri, sehingga rumput kita pun seindah rumput tetangga, bahkan lebih indah. Hmm, kita tidak tahu apa yang terjadi dengan rumput tetangga kita. Kita tidak tahu apa rencana Allah selanjutnya. Tapi entah mengapa kali ini aku bersyukur, sangat bersyukur, bahkan di saat aku juga menghadapi rentetan ‘kelucuan’ yang aku dapati di sini. Karena di sini aku tidak hanya mendapatkan ilmu tapi tempaan mental yang baru lagi, varian tempaan mental yang belum pernah menghampiri hidupku sebelumnya.

Untuk apa aku membaca buku atau novel seperti Laskar Pelangi atau Bidadari-Bidadari Surga jika aku tak bisa mengambil pelajaran dari sana? Bahwa bagaimana berjuang dalam keterbatasan itu lebih berat, tetapi lebih memuaskan. Anggota laskar pelangi berhasil meraih mimpi mereka dengan pendidikan tanpa label ‘sekolah internasional’ atau apalah namanya. Apalagi sekolah internasional, dilirik pun mungkin tidak, tapi mereka membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa sukses walaupun dalam keterbatasan. Dalimunte berhasil menciptakan kincir yang merubah peradaban di desanya, walaupun sebelumnya banyak orang meragukannya. Latar pendidikannya terbatas, tapi karena semangatnya yang tak pernah padam, ia bahkan menjadi profesor hebat kelas dunia.
Berhenti menuntut fasilitas, Him. Berhenti menuntut keadaan harus begini atau begitu. Jika pun mereka tidak melaksanakan kewajibannya, tertawakan saja lagi, anggap sebagai kelucuan-kelucuan yang harus kamu koleksi. Kamu tangan-tangan berikutnya yang membungkam tawa penerusmu. Sudah bukan saatnya kamu menengadah lagi, tapi fasilitasilah dirimu sendiri. Carilah celah berbeda yang bisa kau masuki, tanpa fasilitas-fasilitas itu. Yakinlah, kamu akan lebih puas di akhir perjuanganmu.

Terima kasih untuk yang pernah berkata begini kepadaku, “Carilah komunitas yang bisa membuatmu bahagia di sana.”

InsyaAllah, aku semakin yakin untuk melanjutkan langkah ini, walau kadang diiringi air mata, marah atas kelucuan-kelucuan ini, penyesalan atau pengandaian yang kupendam (lebih tepatnya kutendang dari kamus hidupku), sakit yang menyesakkan, iri atas mereka yang perjuangannya lebih mudah, dan masih banyak lagi. Aku ingin tetap di jalan ini. Entah aku akan jadi apa nantinya, tapi aku tahu Dia memiliki sesuatu di ujung, yang sama sekali tak kumengerti sekarang. Dan bila logikaku bertarung lagi dengan hati, kuyakin saat ini hatiku lebih mengerti. Ia sudah banyak tertempa. Aku akan terus melangkah walau kakiku tak di sini.